Rabu, 28 Januari 2015

Can You Describe Me in One Word?


Saya tinggal/hidup dengan keluarga campuran penganut agama islam dan kristen. Kakek saya kristian dan nenek saya muslim. Anak dan cucu mereka diberikan kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan ketika beranjak dewasa. Tetapi orang tua saya telah mendidik dan mengajarkan tentang agama islam semenjak adzan dikumandangkan di telinga.. Entah kenapa pendidikan agama di Indonesia kebanyakan mengajarkan agama Islam, padahal ini bukan negara agama. Pelajaran agama di sekolah lebih mirip ke indoktrinasi atau doktrin daripada diskusi megenai ideologi dan filsafat.
Mengapa ada banyak tuhan? (tuhan "t kecil" disini mengartikan secara global, sedangkan Tuhan "T besar" itu khusus untuk agama tertentu).
Jika tuhan itu satu, kenapa ada banyak tuhan di dunia dan tuntunannya juga berbeda-beda?
Seperti pertanyaan konyol, duluan adam atau dinosaurus
Masing-masing penganut agama yakin bahwa agama yg dianutnya adalah agama yg paling benar yg akan menuntun mereka ke surga. Ada penganut agama atau theis yg mengatakan bahwa agama selain yg dianutnya salah atau disebut juga kafir.

Theis adalah orang yang percaya pada theisme. Theisme merupakan iman dan kepercayaan akan adanya Tuhan. Mereka memiliki kepercayaan yang tidak bersyarat dan tidak dipertanyakan kepada Tuhan beserta dengan sifat-sifatnya.

Atheis, Atheisme berarti ketidakpercayaan akan adanya Tuhan. Ketidakpercayaan mereka didasarkan pada tidak adanya bukti akan adanya Tuhan, serta sains yg tidak bisa memverifikasi adanya sesuatu yg bersifat tauhid ilahiyah. Atheis tidak memiliki iman dalam bentuk apapun. Mereka percaya bahwa hidup adalah sebuah proses di mana tidak ada ruang untuk keberadaan Tuhan. Bukan berati atheis tidak memiliki moral.

Agnostik, di sisi lain, bukanlah theis maupun atheis. Agnostik merupakan kelompok yang ragu atas keberadaan Tuhan. Terdapat dua golongan agnostik yaitu agnostik empiris dan agnostik humanis.
Agnostik empiris percaya bahwa ada kemungkinan akan keberadaan Tuhan, sedangkan agnostik humanis menganggap perdebatan akan eksistensi Tuhan bukan merupakan hal penting.
Agnostik humanis menjalani hidup dengan panduan moral yang bersifat sekuler tanpa harus terikat dengan norma agama atau kepercayaan tertentu. Keyakinan ini sesuai dengan semboyan “live and let live”.

Saya percaya bahwasannya semua yang tercipta di dunia ini tidak terjadi langsung seperti sekarang, saya percaya bahwa ada benda/makhluk yg mengatur segala antariksa atau jagad raya ini. Meskipun penilitan sejak dulu telah dilakukan, tetapi beberapa memang tidak masuk akal.
Bisa dibilang saya berada di kategori Agnostik, percaya tuhan, tetapi ragu akan agama yang paling benar. Yah, agama memang dari awal diciptakan manusia sendiri. Agama itu sistem yang mengikat.

Karena menurut saya,
Agnostik yang baik, bukanlah seorang pendakwah yang mencari sebanyak-banyaknya pengikut, tetapi orang-orang yang mendasari moralitasnya pada akal budi manusia serta mengakui segala keterbatasannya. Agnostik bukanlah sebuah keyakinan yang menurun dalam keluarga, boleh jadi bukanlah sesuatu yang mudah diajarkan. Agnostik, adalah sebuah hasil pencarian seseorang yang bersifat personal. Seorang agnostik yang baik adalah mereka yang cukup berani mempertanyakan segala sesuatu dan giat bekerja serta belajar untuk mencari jawabnya. Seorang agnostik yang baik tidak bisa yakin sebelum meragukan sesuatu terlebih dahulu. Seorang agnostik tidak boleh gemar mencontek karena malas mencari jawaban. Seorang agnostik yang baik tidak boleh menjadi agnostik atau atheis karena dipengaruhi orang lain. Dengan kata lain agnostisme hanya bisa ditemukan dan dialami sendiri. Seorang agnostik yang baik tidak akan mendorong apalagi membujuk orang lain untuk jadi agnostik atau atheis, tetapi membiarkannya tumbuh dalam pencarian.

Muslim saya saat ini, muslim KTP, agama yang menjadi pengaruh besar berlangsungnya sistem kehidupan manusia. Andai saya seorang muslim liberal, maka saya akan melepaskan segenap keyakinan-keislaman dari segala bentuk otoritas tafsir atas Islam yang tidak sesuai dengan akalku, termasuk otoritas keulamaan. Namun, saya akan menerima tafsir-otoritatif dari siapa pun, dalam arti bahwa otoritas itu bersumber pada bukti-bukti yang meyakinkan secara rasional dan berdasar pada prinsip-prinsip ilmiah yang saya yakini kebenarannya. Tapi, saya juga sadar bahwa akal dan prinsip-prinsip ilmiah yang diakuinya kapan saja selalu memiliki keterbatasan-keterbatasannya sendiri. Karena itu, saya tak akan pernah merasa kapan saja dalam hidupku bahwa keyakinanku akan sesuatu bersifat final. Saya selalu sadar bahwa keyakinan-keyakinanku harus selalu kuanggap sebagai bersifat tentantif, selalu siap untuk direvisi dan direvisi lagi, sejalan dengan pertambahan wawasan dan ilmuku, serta dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Lebih dari itu, saya percaya bahwa rasionalitas saja bukanlah satu-satunya soko-guru keilmiahan. Inilah suatu daya yang dalam tradisi Islam sering diidentikkan dengan hati. Bahkan, saya percaya bahwa setiap saat intuisiku ikut menentukan penarikan pendapat-ilmiahku – kumaui atau tidak. Memang, tak seperti penalaran rasional, saya tidak bisa mengendalikan operasi intuisiku (bukankah per definisi intuisi bersifat holistik sintetik, dan mengontrol?) Tapi, saya percaya bahwa saya bisa menjadikan pemikiran intuitifku mendukung upayaku mencari kebenaran selama aku menjaga obyektivitas dan keikhlasanku. Karena adanya kebutuhan agar saya tetap obyektif dan ikhlas seperti itu, maka sepanjang upayaku untuk mencari opini yang benar saya akan memelihara fokus pada kebenaran itu sendiri, bukan pada popularitas.

Sampai pada titik ini, titik ini dimana saya menulis artikel (13:50 29/01/2015) ada satu keyakinan yang membuat saya nyaman berada di tempat ibadahnya. Mungkin melalui tangan seorang bidadari, saya diajarkannya, mengerti bahwa dunia ini tidak kekal, dan kita manusia perlu adanya tempat memohon. Semoga ini, titik pencarian itu...